Rabu, 25 Oktober 2017
Belajar Mengasihi Dari Malaikat Kecil
Assalamualaikum wr wb, salam cerdas kreatif.
Belajar memang tidak pandang usia, berguru juga mampu di mana saja dan kapan saja. Salah satunya dari dongeng berikut ini:
Istriku berkata kepada saya yang sedang baca koran, “Berapa lama lagi kau baca koran itu? Tolong kau ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan.”
Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu-satunya, namanya Sindu tampak ketakutan, air matanya mengalir. Di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (nasi khas India/curd rice).
Sindu anak yang manis dan termasuk berilmu dalam usianya yang gres 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali bila makan curd rice ada “cooling effect”.
Aku mengambil mangkok dan berkata, “Sindu sayang, demi ayah, maukah kau makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak-teriak sama ayah.”
Aku mampu mencicipi istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata, “Boleh ayah akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta.”
Agak ragu sejenak “akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi usul saya?” Aku menjawab, “Oh…pasti, sayang.”
Sindu tanya sekali lagi, “Betul nih ayah?”
“Ya pasti!” sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda setuju.
Sindu juga mendesak ibunya untuk kesepakatan hal yang sama, istriku menepuk tangan Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, kesepakatan kata istriku. Aku sedikit khawatir dan berkata, “Sindu jangan minta komputer atau barang-barang lain yang mahal yah, sebab ayah ketika ini tidak punya uang.”
Sindu menjawab, “Jangan khawatir, Sindu tidak minta barang mahal kok.” Kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, beliau bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hati saya marah sama istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya.
Setelah Sindu melewati penderitaannya, beliau mendekatiku dengan mata penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin/dibotakin pada hari Minggu.
Istriku spontan berkata, “Permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin.” Juga ibuku menggerutu jangan-jangan terjadi dalam keluarga kita, beliau terlalu banyak nonton TV dan kegiatan TV itu sudah merusak kebudayaan kita.
Aku coba membujuk, “Sindu kenapa kau tidak minta hal yang lain kami semua akan duka melihatmu botak.” Tapi Sindu tetap dengan pilihannya, “Tidak ada yah, tak ada cita-cita lain,” kata Sindu. Aku coba memohon kepada Sindu, “Tolonglah…kenapa kau tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami.”
Sindu dengan menangis berkata, “Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi usul saya. Kenapa ayah sekarang mau menarik/menjilat ludah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi kesepakatan kita terhadap seseorang apa pun yang terjadi menyerupai Raja Harishchandra (raja India zaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya rela menunjukkan tahta, harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.”
Sekarang saya memutuskan untuk memenuhi usul anakku, “Janji kita harus ditepati.” Secara serentak istri dan ibuku berkata, “Apakah kau sudah gila?” “Tidak,” jawabku, “Kalau kita menjilat ludah sendiri, beliau tidak akan pernah berguru bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu, permintaanmu akan kami penuhi.”
Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak lingkaran dan matanya besar dan bagus.
Hari Senin, saya mengantarnya ke sekolah, sekilas saya melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum saya membalas lambaian tangannya.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari kendaraan beroda empat sambil berteriak, “Sindu tolong tunggu saya.” Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki-laki itu botak.
Aku berpikir mungkin”botak” model zaman sekarang. Tanpa memperkenalkan dirinya, seorang wanita keluar dari kendaraan beroda empat dan berkata, “Anak anda, Sindu benar-benar hebat. Anak laki-laki yang jalan bahu-membahu beliau sekarang, Harish yakni anak saya. Dia menderita kanker leukemia.” Wanita itu berhenti sejenak, nangis tersedu-sedu.
“Bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, sebab pengobatan chemotherapy kepalanya menjadi botak jadi beliau tidak mau pergi ke sekolah takut diejek/dihina oleh teman-teman sekelasnya. Nah Minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi usikan yang mungkin terjadi. Hanya saya betul-betul tidak menyangka bila Sindu mau mengorbankan rambutnya yang rupawan untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Yang Mahakuasa mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”
Aku bangun terpaku dan saya menangis, “Malaikat kecilku, tolong ajarkanku perihal kasih.”
Semoga dongeng ini menginspirasi kita semua, wassalam
Sumber: kaskus.us
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar