Assalamualaikum wr wb, salam cerdas kreatif.
Beberapa ketika setelah film Spiderman II diluncurkan di bioskop-bioskop, banyak orang bau tanah mengeluh kalau anaknya merengek-rengek minta dibelikan baju merah-biru bergambar jaring laba-laba ala tokoh superhero tersebut.
Tak hanya hingga di situ, dengan baju tersebut, mereka seolah-olah dapat berkembang menjadi "sakti" sehingga sering berciiiat-ciaat dan melompat-lompat tanpa kenal tempat. "Saat di mal, anakku yang sedang mengenakan baju Spiderman, tiba-tiba berteriak pada kakaknya untuk mengajak lari alasannya yaitu Doc Oc (manusia gurita musuh Spiderman) datang. 'Awas Doc Oc dateng...' sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku. Duh malunya. Apalagi jawaban teriakan kedua anakku itu, semua mata memandang ke arah kami!" keluh seorang ibu.
Memang, orang bau tanah mampu jengkel, sebal, heran, kala si kecil mengikuti polah si tokoh idola seharian. Bahkan tak jarang yang hingga bertanya, "Nih, anak perlu dibawa ke psikolog enggak sih? Ciaaat... ciaat melulu tiap hari." Jawabannya: enggak perlu kok! Menurut Rosdiana S.Tarigan, M.Psi., MHPEd., suatu hal yang wajar kalau si batita punya tokoh pahlawan atau tokoh yang ia sukai, kagumi, dan idolakan. Hal ini berkaitan dengan perkembangan otaknya yang sudah lebih mengerti pada apa yang ia lihat dan dengar dari suatu kejadian yang ada di sekitar dirinya. Selain itu, mereka juga mulai mempunyai kecenderungan akan sesuatu yang beliau sukai dan tidak. "Aku lebih suka Power Rangers daripada Ultraman. Soalnya helm Ultraman berjambul sih," misal.
Yang juga masih dalam batas kewajaran, si batita biasanya senang berulang kali menonton film heronya atau berulang-ulang memakai baju bergambar si tokoh pahlawan tanpa mau diganti. "Pada usia ini, kesenangan anak pada sesuatu masih terbatas. Makara apa pun yang disuka akan dimintanya berulang-ulang setiap hari. Memang terkesan agak berlebihan kalau dilihat dari sudut pandang orang dewasa, tapi selama tak membahayakan dirinya masih tetap wajar, kok," ujar psikolog dari Empaty Development Center, Jakarta ini.
TAK HANYA YANG BERTOPENG
Yang perlu diketahui, tokoh pahlawan yang dikagumi batita tak sebatas tokoh yang hebat laga dan bertopeng saja. Mereka mampu saja mengidolakan tokoh hewan yang digambarkan sebagai jagoan menyerupai Simba, Nemo, atau Willy si paus. Dapat juga tokoh yang digambarkan sebagai orang yang penyayang, baik hati, atau cerdik. Sebutlah Tintin, tokoh hasil rekaan Herge. Karakter tokoh berjambul ini malah diceritakan sebagai pria yang antikekerasan, cerdik, baik hati, serta jujur.
Menurut Diana, pengidolaan mampu muncul kapan saja pada setiap anak, ketika ia memiliki kesan mendalam pada figur tertentu. "Orang-orang terdekat mampu juga menjadi tokoh pahlawan bagi anak. Selain orang tua, mampu juga guru di kelompok bermainnya, kakek, atau lainnya. Anak mengagumi guru mungkin alasannya yaitu ia kerap diperlakukan dengan baik. Sedangkan ia terkesan pada sang kakek, mungkin alasannya yaitu sering mendengar dongeng ihwal kepahlawanannya sehingga memberi pujian secara bebuyutan dalam keluarga tersebut."
Uniknya, kata Diana, pemilihan anak pada seorang tokoh idola tak kenal jender. Dalam artian, si upik mampu saja gandrung pada Superman sementara si buyung kagum pada kelincahan para Power Puff Girls. Hal ini sah-sah saja. Justru Diana mengimbau orang bau tanah biar jangan bias jender alasannya yaitu baik anak perempuan dan laki-laki harus memiliki kesetaraan.
Pemujaan pada seorang tokoh pahlawan pun tak mampu dikatakan dapat menggambarkan kepribadian anak. Makara bukan berarti anak yang energik dan aktif pasti suka tokoh yang macho, misalnya. Bisa saja, ia menyukai figur yang lembut sifatnya. "Pemilihan anak pada suatu tokoh pahlawan lebih pada penggambaran norma atau nilai yang dianut dalam lingkungan keluarganya. Makara bukan pada problem kepribadiannya," ujar Diana.
HAL YANG MESTI DIWASPADAI
Hanya saja, psikolog lulusan Universitas Indonesia ini mewanti-wanti biar orang bau tanah memantau siapa tokoh pahlawan yang dikagumi si kecil. Jangan hingga anak salah pilih; yang dikagumi justru tokoh antagonis yang punya huruf buruk. Ini mampu saja terjadi, umpamanya, alasannya yaitu anak sering terekspos film ihwal penjahat sehingga beliau berkeinginan jadi tokoh penjahat tersebut. Meski demikian hindari mencela dan memarahinya. Lebih baik jelaskan saja, "Dek, monster Org itu memang hebat tapi beliau jahat. Lihat deh, beliau jadi enggak punya sahabat kan? Sering dikejar-kejar Power Rangers lagi!" Lalu berikan tokoh lain yang mempunyai sifat positif. "Kalau Mama senang Putri Shiela alasannya yaitu sering menolong Power Rangers kalau sedang dalam kesulitan. Semua orang jadi sayang sama dia," misalnya.
Hal lain yang patut dicermati juga mengenai implikasi pengidolaan, alasannya yaitu mampu saja si kecil jadi meniru-niru perilaku tokoh pujaannya. Jika Spiderman piawai memanjat gedung, si kecil pun akan coba-coba memanjat dinding rumah. Si Upik yang memuja Barbie, mungkin akan menjiplak gaya berpakaian bahkan rambut si boneka indah ini. Nah, untuk soal ini, menurut Diana, selama apa yang dilakukan anak tidak membahayakan, biarkan ia meniru-niru sang idolanya itu. Kecuali tentu kalau ia sudah berbuat hal yang berisiko, semisal "terbang" dari jendela rumah alasannya yaitu ingin menyerupai Superman. Memang tak mudah bagi orang bau tanah untuk mengatakan kepada si batita bahwa Superman hanya sekadar tokoh di film yang sesungguhnya tidak mampu terbang. Penjelasan menyerupai itu masih terlalu kompleks diterima jalan pikirannya. Makara cukup jelaskan, "Adek kan bukan Superman. Kalau Adek loncat dari jendela mampu jatuh dan kakinya mampu patah."
Namun, untuk menutup rasa penasaran anak akan sensasi terbang ala Superman, mampu juga, orang bau tanah menciptakan suatu dramatic play. Misal, mengajak anak tengkurap di atas bantal yang agak tinggi untuk kemudian menggerakkan tangan dan kakinya seolah sedang terbang di suatu ketinggian. Kalaupun si batita ingin menjiplak perilaku melompat atau memanjat, mintalah ia melakukannya dari daerah yang tak terlalu tinggi dan terjangkau. Namun, tetap dalam pengawasan orang bau tanah atau orang cukup umur yang ada bersamanya.
MANFAAT TOKOH HERO
Jadi, saran Diana, hindari meremehkan tokoh pahlawan si kecil, apalagi dengan kata-kata celaan, seperti, "Apa sih bagusnya Spiderman?" alasannya yaitu hal ini akan dapat mematikan kreativitas dan inisiatifnya. Si kecil pun akan merasa kurang kompeten dalam memilih sesuatu yang disukainya atau tokoh yang diidolakannya. Kelak, rasa penghargaan terhadap dirinya tidak terbentuk optimal.
Lagi pula kalau si kecil memiliki tokoh hero, orang bau tanah dapat memetik beberapa manfaat, yakni:
* Sebagai Media Penanaman Nilai.
Adanya pengidolaan anak pada tokoh pahlawan dapat mempermudah orang bau tanah dalam memasukkan banyak sekali nilai-nilai kehidupan. "Spiderman itu sayang sama anak baik yang mau meminjamkan temannya mainan," begitu misalnya.
* Panutan.
Umpamanya, ketika anak sulit makan, kita dapat mengatakan, "Popeye jadi berpengaruh kan kalau makan bayam. Adek kalau makan bayam juga mampu jadi jagoan."
* Menumbuhkan imajinasi.
Bila orang bau tanah dapat mengolah rasa suka anak pada tokoh tertentu menjadi suatu permainan yang imajinatif dan menyenangkan, maka imajinasi anak pun mampu berkembang dengan baik. Umpamanya, "Kita buat topeng kertas biar kayak Batman yuk!" Lalu apakah kesukaan anak akan suatu tokoh pahlawan akan berlanjut terus? Tidak juga kok. Menurut Diana, dengan bertambahnya usia si kecil, tokoh pahlawan ini mampu berganti. Namun mampu juga tidak. Tergantung seberapa sering tokoh pahlawan tersebut terekspos dan bagaimana teladan pikir anak nanti.
Jika pengidolaannya pada tokoh pahlawan tersebut difasilitasi misalnya orang bau tanah selalu membelikan pernak-pernik yang berkaitan dengan tokoh itu termasuk buku dan filmnya maka kesukaan anak pada idolanya mampu bertahan lama. Sebaliknya, bila ekspos tokoh tersebut dan dukungan orang bau tanah kurang, ditambah teladan pikir anak sudah lebih meningkat, kesukaannya akan tokoh pahlawan itu hanya sesaat. Toh, berlanjut atau tidak kesenangan si kecil pada tokoh tertentu, hal ini normal saja.
Semoga bermanfaat, wassalam.
intisari: Dedeh Kurniasih. Foto: Iman/nakita
0 komentar:
Posting Komentar