Jumat, 19 Agustus 2016

Bila Si kecil Susah Bangun Pagi


Assalamualaikum wr wb, salam cerdas kreatif.

Padahal tak lama lagi ia akan masuk "sekolah". Bisa-bisa setiap pagi terjadi "perang" di rumah. Nah, bagaimana menyiasatinya?

Duh, susahnya membangunkan si kecil. Padahal, tak lama lagi ia akan masuk "sekolah". Jikapun ia beranjak juga dari kawasan tidur -dengan mata setengah terbuka-, bukannya pribadi masuk ke kamar mandi, malah berhenti di depan sofa dan melanjutkan tidurnya.

Kalau saja "sekolah" gres dimulai beberapa bulan lagi, mungkin perilaku si kecil yang demikian masih bisa kita tolerir. Toh, masih cukup banyak waktu untuk si kecil berguru bangkit pagi, sehingga kita tak perlu tergesa-gesa melatihnya. Masalahnya, "sekolah" sudah di ambang pintu. Kalau enggak dari sekarang dilatih, apa jadinya nanti begitu tiba ketika masuk "sekolah"? Belum lagi kalau kita juga harus berangkat ke kantor. Sementara hari makin meninggi dan si kecil belum juga bangun, bisa-bisa tiap pagi terjadi "perang" di rumah kita. Runyam, kan?

KARENA TAK DIBIASAKAN

Masalah anak tak bisa bangkit pagi, jelas Rahmitha P. Soendjojo, tak bisa dilepaskan dari ritme tidurnya. "Kita harus lihat kebiasaan sebelumnya, jam berapa ia tidur malam dan bagaimana pula tidur siangnya? Apakah tidurnya larut, apakah aktivitas siangnya terlalu capai sehingga anak jadi susah tidur dan susah bangunnya?" Soalnya, persoalan bangkit pagi hanyalah persoalan kebiasaan. Jadi, anak bekerjsama bisa bangkit pagi asalkan dibiasakan. Dengan begitu, ritme tubuhnya juga akan selalu mengatur ibarat itu. Jangan lupa, anak sedang dalam proses belajar. "Ia tak punya keterampilan dan pengalaman untuk bangkit pagi. Jadi, kalau ia tak diajarkan untuk kapan bangkit pagi, kapan tidur malam, dan kapan tidur siang, maka ia tak akan punya keterampilan untuk menata kesehariannya," lanjut Mitha, panggilan bersahabat psikolog pada DIA-YKAI, Jakarta, ini.

Dalam bahasa lain, bisa-tidaknya anak bangkit pagi tergantung dari kebiasaan yang ditanamkan secara konsisten oleh orang tua, bukan karena kebutuhan tidurnya memang demikian. Kebutuhan tidur akan berkurang sejalan bertambahnya usia. Di usia bayi, misalnya, anak bisa tidur 5 hingga 6 kali sehari. Bayi hanya terbangun bila ia merasa lapar. Tapi di usia batita, anak biasanya tidur siang hanya sekali. Semakin besar dan beranjak remaja, ia hanya tidur malam. Lama tidur malam pun akan semakin berkurang. Anak prasekolah biasanya butuh 12 jam tidur dalam sehari. "Tapi tentu setiap anak punya kekhasannya sendiri," ujar Mitha.

Artinya, walaupun sama-sama prasekolah, namun kebutuhan tidur masing-masing anak akan berbeda-beda. Ada anak yang cukup tidur dengan 10 jam, ada pula yang gres cukup jikalau tidurnya mencapai 14 jam. Begitu pula kebiasaan tidur siang. Ada yang hanya tidur siang sebentar saja, namun efeknya bisa membuat si anak hingga jam 11 malam masih melek . Sebaliknya, ada anak yang sepanjang sore sudah tidur, jam 7 malam pun sudah tidur lagi. Nah, pada anak yang bangunnya siang, menurut Mitha, biasanya mempunyai jam tidur siang yang lambat pula. Akibatnya, tidur malamnya pun jadi larut.

TIDUR MALAM DIPERDINI

Bila anak tak bisa bangkit pagi lantaran tidur siangnya lambat sehingga tidur malamnya jadi larut, berarti kita harus reschedule lagi. Saran Mitha, bangunkan ia lebih dini dari biasanya ketika tidur siang. "Tentu dilakukannya secara bertahap. Misalnya, 15 menit lebih dini setiap hari, hingga ia bisa mencapai waktu yang tepat." Seiring dengan itu, agenda tidur malam dan bangkit paginya juga harus diperdini. Misalnya, jam 8 malam sudah harus di kawasan tidur. Pokoknya, pada jam 8 malam, anak sudah dipakaikan baju tidurnya, basuh kaki dan gosok gigi, sudah minum susu hangat, lalu bacakan buku cerita. Jika ketika pertama ia tak bisa tidur dan tetap ingin bermain, tak jadi masalah.

Yang penting, ia harus selalu dibuatkan jam tubuhnya bahwa jam 8 ialah waktu tidur. Lama-lama ritme tubuhnya pun akan terbentuk, pada jam 8 ia pasti tidur dan ia akan bangkit jam 6 pagi. Bahkan untuk keluarga muslim akan bangkit lebih pagi lagi demi membiasakannya salat subuh. Tentu saja, kala pertama kali agenda tersebut diterapkan, akan mengalami aneka macam kendala; dari anak jadi mudah rewel hingga mengamuk.

Tak apa-apa. Toh, kalau tubuhnya sudah bisa mengikuti keadaan dengan agenda barunya, maka kendala ini pun tak akan terjadi lagi. Tubuh anak juga tak akan menderita sesuatu kalau kita hanya sekadar mengubah jam tidur tanpa mengurangi jumlahnya. Sejauh tubuhnya dapat berfungsi baik dengan jumlah tidur yang dimilikinya, berarti jumlah tidurnya cukup. Jadi, tak usah khawatir untuk mengubah agenda tidurnya. Tapi mengubahnya dilakukan jauh-jauh hari sebelum anak masuk "sekolah", ya; minimal 2 ahad sebelumnya. Dengan begitu, kala tiba ketika masuk "sekolah", ia pun sudah bisa bangkit pagi. Jadi, tak ada lagi "perang" di pagi hari antara orang renta dan anak.

ORANG TUA BANGUN LEBIH PAGI

Tentunya kita perlu bangkit lebih pagi dari anak. Kalau kita dan anak sama-sama bangkit jam 6, misalnya, maka yang terjadi ialah kehebohan karena semuanya akan tergopoh-gopoh. Terlebih lagi bila kita juga sibuk menyiapkan diri sendiri untuk berangkat ke kantor. Bisa-bisa semuanya malah jadi berantakan. Itulah mengapa kita perlu bangkit lebih awal dari anak semoga kita bisa punya waktu untuk keperluan kita dan anggota keluarga lainnya lebih dulu. Setelah semua urusan tersebut beres, barulah kita bangunkan si kecil. Dengan begitu, kita jadi bisa lebih damai dan tabah dalam menghadapi si kecil yang malas-malasan bangun.

"Anak yang dihadapi dengan santai akan lebih cepat menurut ketimbang jikalau dihadapi dengan heboh, biasanya akan semakin mengambek," kata Mitha. Kemudian, pada ketika membangunkannya lakukanlah dengan cara-cara yang membuat anak senang. Misalnya, dengan memeluk, mencium, membunyikan weker yang bunyinya disenangi anak, membawakan susu buatnya, membuka jendela kamarnya sehingga sinar matahari masuk, atau menggendongnya hingga ke depan kamar mandi. Bukan malah dengan omelan dan bahaya segala macam, "Nanti Mama siram pakai air, ya, kalau kau enggak mau bangkit juga!"

Wah, ini, kan, bukan pernyataan manis yang ingin didengar anak untuk mengawali hari-harinya. Setelah anak bisa bangkit pagi, berilah rewards. Entah dengan membaca dongeng sama-sama atau jalan-jalan di hari Sabtu. Pokoknya, aktivitas yang menyenangkan dan ada kaitannya antara orang tua-anak. Dengan demikian, anak pun terdorong untuk bangkit pagi terus. Karena anak, jelas Mitha, pada dasarnya selalu ingin menyenangkan orang tua. "Kalau ia berbuat baik dan orang tuanya menyampaikan rasa puas serta senang, maka anak akan mengulangi perbuatan itu. Ia akan sibuk cari sesuatu yang bagus, yang bisa bikin senang ayah-ibunya. Tapi kalau yang ia lakukan itu dianggap salah melulu, maka ia pun akan bingung, bagaimana cara yang mengagumkan buat menyenangkan orang tuanya."

BELUM TERLAMBAT

Apabila kita lupa melatih si kecil bangkit pagi sebelum tiba ketika masuk "sekolah", tak ada kata terlambat, kok. Pada jadinya si kecil akan bisa bangkit pagi asalkan dilatih secara konsisten. Disamping mengubah agenda tidurnya, saran Mitha, sebaiknya anak sudah disiapkan pada malamnya, dengan menunjukan pada anak apa yang akan terjadi esok hari dan apa saja yang harus ia lakukan. Misalnya, "Mbak, seragamnya warna apa untuk 'sekolah' besok? Mau pakai kaos kaki yang mana? Mau pakai sepatu yang mana? Buku apa yang akan dibawa? Mau bawa kawasan minum atau kawasan kudapan manis yang mana? Kamu nanti bawa bekal apa? Mau bawa lemper, kudapan manis sus, atau roti?" Dengan begitu, anak akan tergugah untuk punya responsibility, "Oh, iya, besok saya harus 'sekolah'."

Tentunya semua perlengkapan tersebut pribadi disiapkan dan diletakkan di kawasan yang mudah terlihat anak, kecuali kue-kue tentunya. Selain itu, urai Mitha, "untuk anak usia 3-4 tahun, kita harus mengingatkan tentang program besok ini secara berulang-ulang karena daya ingat anak usia ini masih minim sekali." Lagi pula, dengan terus-menerus diingatkan, hal ini bisa menjadi suatu rutinitas buatnya. "Jadi, setiap malam kalau ia mau tidur itu punya ritual; dari sikat gigi, memakai baju tidur, dan menyiapkan baju serta perlengkapan 'sekolah'nya. Dengan begitu, anak jadi punya persiapan juga, 'Oh, besok saya akan 'sekolah', saya harus bangkit pagi,'" lanjut Mitha. Jikapun kita sempat melaksanakan "ritual" tersebut karena masih di kantor, misalnya, maka peran ini bisa kita delegasikan kepada pengasuh anak. Ternyata, enggak sulit-sulit amat, kan, Bu-Pak, untuk membiasakan si kecil bangkit pagi?

CARI PERHATIAN


Bapak-Ibu, waspadalah bila kebiasaan anak sudah bangkit pagi berlangsung terus-menerus. Selain karena ia memang tak terampil, belum punya pengalaman bahwa kalau bangkit tidur itu harus ngapain -misalnya, harus pribadi masuk kamar mandi-, menurut Rahmitha, bisa juga disebabkan anak mencari perhatian orang tua. Untuk itu, kita harus cermat melihat pada diri anak. "Kalau kita lihat si anak memang mengantuk sekali, berarti tidurnya kurang. Bila demikian, kita harus lihat agenda tidur malamnya, apakah terlalu larut? Kenapa ia bisa tidur hingga larut? Apakah karena menunggu bapak-ibunya pulang ataukah terlalu asyik menonton TV, misalnya? Berarti ada schedule yang tak benar dan harus diperbaiki." Tapi kalau tidur malamnya memang sudah cukup dan ia tetap saja mengantuk, lihat lagi, apakah ia cukup sehat atau tidak? "Kalau semua itu oke, berarti memang ia cari perhatian. Bisa saja ia berpikiran, 'Kalau saya tidur cepat-cepat, nanti saya enggak ketemu Mama-Papa lagi. Ya, sudah, bikin alasan macam-macam.' Padahal maksudnya memang ingin dipeluk ibunya, didekati ibunya, dan sebagainya," lanjut Mitha. Jadi, kita harus tanggap akan hal ini.

JANGAN BIARKAN SI KECIL MENUNGGU

Sering terjadi, anak tidur malam terlalu larut gara-gara menunggu kita pulang dari kantor. Mayoritas orang renta di Jakarta, kan, tiba di rumah kira-kira jam 9 malam. Kalau mereka pulang dan anaknya sudah tidur, mereka merasa enggak ketemu dengan anaknya. Sebaliknya, anak juga merasa tak ketemu orang tuanya. "Ini memang sebuah dilema," saya Rahmitha . Namun sebaiknya anak tak dibiarkan tidur larut karena menunggu orang renta pulang kantor. Toh, esok paginya orang renta dan anak masih bisa saling ketemu. Apalagi kalau anak sudah biasa bangkit pagi, "maka pagi hari akan sangat panjang dan bisa dimanfaatkan untuk ketemu dengan orang tua. Orang renta pun bisa menyiapkan segala sesuatunya bersama anak."

AWAS "SEKOLAH" BISA JADI PENYEBAB!

Tak jarang anak sulit dibangunkan karena malas "sekolah". Bila demikian, kita harus tanggap, apakah ada persoalan dengan "sekolah"nya? Misalnya, bekalnya selalu diambil temannya, padahal bekalnya itu ialah makanan kesukaannya. "Hal ini bisa menjadi persoalan besar, lo, bagi anak sehingga ia jadi tak betah 'sekolah'. Karena anak itu, kan, peka sekali dengan segala perubahan. Ia belum punya pengalaman dan cara berpikirnya juga terbatas, sehingga kemampuan adaptasinya belum secepat orang dewasa. Jadi, kalau ada masalah, ia tak tahu teknik mengatasinya," papar Rahmitha. Banyak hal yang bisa membuat anak malas "sekolah". Hanya gara-gara duduknya di pojok dan di situ banyak nyamuk atau sepatunya sudah kesempitan tapi ia tak punya kesempatan bilang pada orang tuanya, juga bisa membuatnya malas "sekolah". Itulah mengapa, kita harus tanggap terhadap perubahan anak. "Ajak ia bicara. Dari situ akan tertangkap berair apa penyebabnya malas bangkit pagi," lanjut Mitha. Kita juga harus jalin kerja sama dengan 'sekolah', sehingga kalau ada persoalan bisa cepat ketahuan. Dengan demikian kita tahu betul bagaimana keadaan anak kita.

Wassalam,
Julie/Indah Mulatsih
image:thinkstock
sumber:http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Anak/Si-Kecil-Tak-Bisa-Bangun-Pagi

0 komentar:

Posting Komentar