Assalamulaikum wr wb, salam cerdas kreatif.
’Karakter yaitu kunci keberhasilan individu,'’ kata Ratna (Indonesia Heritage Foundation). Ia lantas mengutip sebuah hasil penelitian di AS bahwa 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk ibarat tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan kekerabatan interpersonal yang buruk. Didukung pula penelitian lain yang menunjukkan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.
Bagaimana mendidik huruf anak? Menurut Ratna Megawangi, menciptakan lingkungan yang kondusif. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jikalau dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak ang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Untuk itu, pendiri sekaligus eksekutif eksekutif Indonesia Heritage Foundation ini melihat tugas keluarga, sekolah, dan komunitas amat menentukan.
Membentuk karakter
Membentuk karakter, kata Ratna Megawangi, merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Anak-anak, terang ketua episode Tumbuh Kembang Anak, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, ini, akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jikalau ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu, fitrah setiap anak yang dilahirkan suci bisa berkembang optimal. Untuk itu, ia melihat tiga pihak yang mempunyai tugas penting. Yakni, keluarga, sekolah, dan komunitas.
Dalam pembentukan karakter, terang Ratna, ada tiga hal yang berlangsung secara terintegrasi. Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus diambil, bisa menawarkan prioritas hal-hal yang baik. Kemudian, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau berbohong. `’Karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai kebajikan,'’ kata Ratna, mencontohkan.
Anak bisa melaksanakan kebajikan, dan terbiasa melakukannya. Lewat proses itu, Ratna menyebut sembilan pilar huruf yang penting ditanamkan pada anak. Ia memulainya dari cinta Allah dan alam semesta beserta isinya; tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun; kasi sayang, kepedulian, dan kerja sama; percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi, cinta damai, dan persatuan. Karakter baik ini harus dipelihara. Lalu, bagaimana menanamkan huruf pada anak? Mengutip hasil riset otak mutakhir, Ratna menyebut usia di bawah tujuh tahun merupakan masa terpenting. `’Salah asuh memengaruhi ketika ia dewasa,'’ katanya.
Mana yang disimpan?
Pendidikan huruf seharusnya dimulai ketika anak masih balita. Praktisi pendidikan Edy Wiyono, pada aktivitas yang sama, menggambarkan betapa balita masih kosong pengalaman. `’Jika ia melihat sesuatu pribadi dimasukkan tanpa dipilih-pilih,'’ katanya. Itu bisa terjadi karena dalam benak balita belum ada ‘program’ penyaring.
Nah, materi yang pertama masuk pada otak anak akan berfungsi sebagai penyaring. Karena itu, Edy mengingatkan orang renta semoga waspada. Sebab, jikalau terlambat mengisi pengalaman pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi pihak lain. ‘’Orang renta yang jarang berinteraksi dengan anak pada usia ini, berhati-hatilah,'’ katanya.
Anak tak hanya merekam materi yang masuk. Tapi juga yang lebih dipercaya, yang lebih menyenangkan, dan yang berlangsung terus-menerus. Saat anak sudah memasuki dunia sekolah, anak biasanya lebih percaya pada guru. Bila demikian adanya, Edy mengingatkan hal itu sebagai mengambarkan orang renta untuk mengevaluasi diri. `’Kita harus meningkatkan kemampuan kita untuk lebih dipercaya.'’
Bagi orang renta bekerja, Edy juga mengingatkan semoga selalu menyediakan waktu bagi anak-anaknya. ‘’Hati-hati, semoga jangan hingga tv menggantikan tugas orang renta bagi sang anak,'’ ujarnya.
Bekerja maupun tidak, menurut Edy, orang renta harus berupaya menyebabkan dirinya role model untuk membangun kepercayaan anak. Selain itu, mengupayakan komunikasi dengan anak secara menyenangkan, tidak hanya memerintah-merintah, mengkritik, dan membentak-bentak. ‘’Anak dirancang Allah tidak untuk dibentak-bentak,'’ ujar Edy,'’Karena sebetulnya telinga anak itu amat tajam.'’
Untuk mendampingi sang anak yang tengah dalam pertumbuhan, praktisi multiple intelligences and holistic learning ini menyarankan para orang renta semoga berupaya menjadi ‘konsultan pribadi’ mereka. Bagaimana caranya? Yang paling utama, Edy menyarankan kebiasaan yang dilakukan para orang tua. ‘’Stop menghakimi anak dan stop mengungkit-ungkit,'’ katanya. Ia juga mengingatkan semoga tidak menggunakan amarah. Sebab, marah tidak pernah menyelesaikan problem dengan baik. Tidak juga membanding-bandingkan anak.
Dalam berkomunikasi, orang renta hendaknya menjadi pendengar yang baik, tidak menyela pembicaraan, mengganti pernyataan dengan pertanyaan, berempati terhadap anak dan masalahnya, tidak berkomentar sebelum diminta. Kalaupun berkomentar, saran Edy, gunakan komentar yang menyenangkan. Yakni, misalnya, dengan metode ‘’rasa-rasa …'’, ‘’dulu pernah …'’.
Satu hal yang tak boleh dilupakan, kata Edy, orang renta jangan pernah membuat keputusan untuk anak. ‘’Biarkan anak yang memilih,'’ katanya. Dan, selama pertumbuhan anak, Edy menyarankan para orang renta untuk selalu membangun kedekatan dan biasakan berdialog. ‘’Agar anak terbiasa untuk meminta pertimbangan dan pesan tersirat dari Anda.'’
Melewati Fase Kritis Anak
Ada enam fase kritis, menurut praktisi pendidikan Edy Wiyono, yang dilalui anak hingga menjadi dewasa. Orang renta dan guru hendaknya memahaminya sebagai suatu yang normal. ‘’Bahwa anak sudah pada fasenya,'’ kata narasumber Smart Parenting di Smart FM 95,9 ini. Edy memberi perlindungan pada para orang renta untuk menandai dan menyikapi fase-fase pertumbuhan anaknya mulai dari balita, usia TK, usia SD, usia SMP, usia SMA, hingga usia kuliah. Satu hal yang penting tak boleh dilepaskan dalam masing-masing fase itu, Edy menyarankan, ‘’Gunakan kebanggaan untuk perilaku, atau perubahan perilaku yang baik. Berikut lima dari enam fase yang disampaikannya beberapa waktu lalu:
Usia balita
Ciri-ciri: merasa selalu benar, memaksakan kehendak, tidak mau berbagi. Peran orang tua:
- Berikan kesempatan anak beberapa detik untuk berkuasa.
- Berikan kesempatan beberapa detik untuk memiliki secara penuh.
- Perkenalkan pada arti boleh dan tidak boleh dengan menggunakan mulut wajah.
- Konsisten dan jangan menggunakan kekerasan baik bunyi maupun fisik.
Usia TK
Ciri-ciri: konflik adaptatif, imitatif, berbagi, dan mau mengalah. Ketiga sifat terakhir ini karena anak ingin diterima dalam kelompok.
Peran orang tua:
- Beri kesempatan untuk memerhatikan, mencoba, dan bekerja sama.- Perhatikan dan luruskan perilaku imitatif yang cenderung negatif.
- Dukunglah anak untuk bisa membuatkan dan mengalah.
Usia SD
Ciri-ciri: anak ingin mendapat pengesahan diri. Karena itu, ciri-ciri utamanya punya pendapat berbeda, penampilan berbeda, gaya bicara berbeda, dan hobinya pun berbeda.
Peran orang tua:
- Menghargai pendapatnya dan jangan menyalahkan.- Ajaklah dialog budi dan pengalaman.
- Pujilah hal-hal yang baik dari penampilannya, bantulah dengan kalimat positif untuk bisa tampil lebih baik lagi.
- Jangan pribadi menyela gaya bicaranya, berdiri ketertarikan dan bantulah beliau untuk bisa lebih punya gaya bicara yang menarik.
Usia SMP
Ciri-ciri: anak memasuki persaingan. Karena itu anak mengalami konflik antarpersonal, konflik antarkelompok, dan konflik sosial.
Peran orang tua:
- Meningkatkan proses kedekatan dengan anak melalui dialog dan banyak sekali cara.- Jadilah pendengar yang baik dan buka menjadi hakim.
- Jangan pernah menyela pembicaraan dan cerianya.
- Jangan beri komentar atau pesan tersirat sebelum tiba waktunya.
Wallahu’alam.
sumber:http://beranda.blogsome.com/2008/02/07/membangun-karakter-anak/
0 komentar:
Posting Komentar