Kamis, 18 Agustus 2016

Apa Sih Dampak Pendidikan Karakter Bagi Akademik Anak?


Assalamualaikum wr wb, salam cerdas kreatif.

Saat ini mulai marak dibicarakan mengenai pendidikan karakter. Tetapi yang masih umum diterapkan mengenai pendidikan huruf ini masih pada taraf jenjang pendidikan pra sekolah (taman bermain dan taman kanak-kanak). sementara pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya masih sangat-sangat jarang sekali. kurikulum pendidikan di Indonesia masih belum menyentuh aspek huruf ini, meskipun ada pelajaran pancasila, kewarganegaraan dan semisalnya, tapi itu masih sebatas teori dan tidak dalam tataran aplikatif. Padahal jikalau Indonesia ingin memperbaiki mutu SDM dan segera bangun dari ketinggalannya, maka indonesia harus merombak istem pendidikan yang ada ketika ini.

Mungkin banyak yang bertanya-tanya bahwasanya apa sih dampak pendidikan huruf terhadap keberhasilan akademik?
Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menerangkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan huruf menerangkan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.Pendidikan huruf ialah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).

Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan huruf tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ialah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, alasannya dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Sebuah buku yang gres terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan aneka macam hasil penelitian wacana pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah.

Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman wacana keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak yang mempunyai persoalan dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat semenjak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa hingga usia dewasa.

Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja menyerupai kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Pendidikan huruf di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan huruf ialah di dalam keluarga. Kalau seorang anak menerima pendidikan huruf yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang renta yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter.

Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang renta yang gagal dalam mendidik huruf anak-anaknya entah alasannya kesibukan atau alasannya lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan menawarkan pendidikan huruf di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi topipembicaraan ramai.

Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya semenjak usia dini, sebagian besar belum dewasa akan merasa “bodoh” alasannya kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” belum dewasa yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem menyerupai ini tentunya besar lengan berkuasa negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana semenjak dini belum dewasa justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa tidak bisa yang berkepanjangan yang akan membentuk eksklusif yang tidak percaya diri, akan mengakibatkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU.

Jadi, pendidikan huruf atau budi pekerti plus ialah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan huruf ialah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi memperingatkan wacana salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter).

Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu ialah tujuan selesai dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral ialah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat)..

Wassalam.
sumber:
Russell T. Williams (Jefferson Center For Character Education-USA)
Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation)

0 komentar:

Posting Komentar