Assalamualaikum salam cerdas kreatif,
Sebagai orang tua, apa yang akan kita lakukan???, bila tiba-tiba anak anda ngambek gara-gara ingin mendapatkan suatu barang yang diinginkannya tidak terpenuhi. Mungkin perasaan anda tidak enak karena pasti orang akan menduga anda tidak becus mengurus anak. Daripada ribut, hasilnya Anda pun mengalah, meluluskan seruan si kecil.
Menurut psikolog anak, Dr. Seto Mulyadi, orangtua tak perlu aib bila anaknya tiba-tiba bertingkah tak menyenangkan di depan umum. Toh, orang lain pun tahu kalau ini bukan dilema orangtua, tapi dilema anak-anak. “Justru yang perlu diupayakan yakni menenangkan si anak supaya tak lebih lama mengganggu ketenangan umum. Dengan tegas, angkatlah ia dan ajak pulang. Pengalaman saya, tatap mata anak dan ajak ia pulang. Jangan tatap
anak dengan
kesal atau memelototinya, ia akan tahu itu dan akan makin keras mengamuk,” terang Doktor Psikologi lulusan Program Pasca Sarjana UI ini. Kata Seto, lebih baik tatap mata si anak dengan penuh kasih. Ia akan mengerti, ibu atau ayahnya tetap menyayanginya dan permintaannya mampu dibicarakan di rumah.
JADI SENJATA
Yang jelas, wajar jikalau
anak kecil gampang meledak atau ngambek. Terlebih anak usia di atas 2 tahun. Saat itu ia sudah dapat mengekspresikan kemarahan, kekecewaan, atau kecemasannya. “Untuk anak yang berusia di bawah 2 tahun, sangat gampang mengalihkannya. Misalnya ketika ia ngambek, kita tunjukkan cicak di dinding. Atau tunjukkan ia gambar,” bilang Seto. Lain hal dengan anak usia 2 tahun di mana egonya mulai tumbuh. Ia ingin orang lain mengakui keberadaannya. Dengan cara diam, tak mau berpartisipasi atau berguling- guling, ia ingin orang lain mengerti akan kehadiran “aku”-nya yang baru. Ia pun sangat mementingkan diri sendiri. Apa yang diinginkannya harus dituruti segera dan ketika itu juga.
Celakanya, jikalau perilaku tak baik ini tak ditanggulangi dengan baik, maka akan terus berkembang sampai dewasa. “Itu sebabnya ngambek harus diwaspadai sebagai cikal-bakal banyak sekali tingkah negatif setelah remaja kelak. Bisa saja kalau keinginannya tak terpenuhi, lantas minggat dari rumah,” terang Seto.
Apalagi, anak mencar ilmu dari lingkungan. Ia akan mencar ilmu bagaimana lingkungan meresponnya. Kalau ia ngambek lalu orangtuanya menuruti kehendaknya, maka ngambek akan dijadikan senjata untuk menarik perhatian “kekuasaan” atau orangtua. Dan tingkat ngambeknya juga akan terus meningkat. Beda jikalau ia ngambek, masalahnya dicoba dipecahkan. Alhasil, ia tak mampu menggunakan hal itu sebagai senjata. Dengan demikian, jikalau ia menginginkan sesuatu, ia tak akan ngambek, tapi mengacu pada sistem.
UNGKAPAN PROTES
Yang biasanya terjadi,
anak ngambek untuk mengungkapkan protesnya atas kesewenangan orangtua. Terutama pada keluarga yang komunikasinya kurang efektif. Entah karena ayah-ibu yang terlalu sibuk sehingga perhatian pada si kecil sangat kurang, atau karena orangtua terlalu diktatorial dan mau menang sendiri. Orangtua selalu memaksakan kehendaknya, sehingga tak pernah mendengar hati nurani anak. “Nah, anak akan merasa diperlakukan tak adil!” tukas Seto. Misalnya saja, pada ketika anak minta mainan, orangtua pribadi bilang, “Tidak! Mainan kau sudah terlalu banyak!”
Padahal mungkin saja mainan yang banyak itu dibeli atas inisiatif orangtuanya yang ketika membeli, suasana hatinya sedang senang, uang lagi banyak. Padahal, mampu saja si anak sebetulnya sedang tak butuh mainan. Nah, giliran ia memerlukan, justru orangtua berkata tidak. Anak pun merasa diperlakukan tak adil. Semuanya hanya dilihat dari sudut pandang orangtua, tak melalui suatu dialog yang demokratis. Akibatnya, anak frustrasi dan perasaan itu dilampiaskannya dengan cara ngambek.
METODE ANTI KALAH
Harus bagaimanakah kita bersikap? Yang jelas, kita mesti lebih membuka diri, sehingga anak dapat melampiaskan keinginan-keinginannya secara wajar. “Jadilah pendengar yang baik,” anjur Seto. Saat kumpul bersama keluarga, misalnya, ayah dan ibu harus mau mendengar dan mendapatkan seruan atau keluhan-keluhan anak. Jika anak minta dibelikan buku dan stiker, misalnya, tanyakan padanya, apakah itu sebuah kebutuhan atau keinginan. “Mana yang paling perlu? Buku atau stiker?” Anak pun hasilnya belajar, mana yang penting dan tidak. Kalaupun ia ingin protes, boleh-boleh saja sepanjang diwujudkan dalam bentuk kata-kata dan bukan tingkah laku ngambek atau membanting pintu.
Tak ada salahnya anak ikut tahu kondisi keuangan ayah dan ibunya sehingga ia tahu persis, orangtua belum mampu memenuhi keinginannya. “Jadi, semuanya harus melalui dialog atau komunikasi,” tandas Seto. Cara lain untuk mengendalikan anak ngambek, yakni metode “anti-kalah” atau musyawarah dalam keluarga. “Tak ada yang kalah atau menang.” Lagi-lagi, dengan cara membuka dialog. Misalnya, “Yuk, kita bicarakan hal ini di rumah. Apa yang kau mau, akan kita bicarakan dulu. Kalau memang diputuskan untuk dibeli, kita mampu kembali lagi besok.” Alhasil, titik temu yang memuaskan kedua belah pihak pun didapat. “Anak juga sekaligus mencar ilmu bahwa ia tak akan berhasil memenuhi keinginannya dengan cara ngambek,” kata Seto.
TENANG DAN KONSISTEN
Seto mengakui, memang bukan pekerjaan mudah mengajak bicara anak kecil yang tengah ngadat. Ia akan melawan, bersikukuh, alias mau menang sendiri. “Makanya, hadapi ia dengan sikap tenang. Kalau kita tampak panik, malu, atau marah-marah, anak malah jadi tambah bertingkah. Tenang, senyum, dan perlihatkan kita tetap menghargainya.
Nah, biasanya ngambeknya akan sedikit lumer,” papar anggota Creative Education Foundation ini. Orangtua mampu berujar, “Ibu tahu kau kecewa, sedih. Sekarang kita pulang dulu, yuk! Nanti kita bicarakan di rumah. Ibu mau dengar apa maumu.” Lewat ucapan menyerupai itu, anak tahu, kita mengerti akan kemarahan atau kekecewaannya dan kita mampu menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. “Anak juga akan sadar, ia boleh marah tapi cara marahnya harus baik. Tidak dengan berguling-guling di depan umum. Dari situ ia akan merasa dihargai,” lanjut anggota World Council for Gifted & Talented Children ini. Di sisi lain, anak juga menjadi paham, ayah atau ibunya sudah berubah. Yang biasanya marah-marah, sekarang tak begitu lagi. “Tentunya orangtua harus konsisten dengan ucapannya. Tiba di rumah, ia harus mau mendengarkan keluhan-keluhan anak dan sama-sama mencari pemecahannya,” kata Seto.
BIKIN “PERJANJIAN”
Sikap pasif orangtua ketika anaknya ngambek dengan cara membiarkan atau meninggalkan anak, tak terlalu disetujui pakar psikologi anak ini. “Ada kan, orangtua yang begitu. Anaknya dibiarkan dengan impian kemarahan anak akan reda dengan sendirinya. Padahal, justru sikap menyerupai itu mampu membuat anak makin kecewa dan frustrasi. Bisa saja ngambeknya kemudian dialihkan di rumah karena dilema utamanya tak diselesaikan,” tutur anggota International Council of Psychologists ini. Padahal, tutur Seto lebih jauh, tak ada salahnya orangtua bersikap sedikit “merendah” dalam arti mau mendengarkan anak. Sebaliknya, orangtua pun harus berani mengungkapkan segala perasannya secara jujur. Kalau ingin marah, ya, kemukakan saja. Misalnya, “Ibu marah, lo, kalau kau bersikap begini. Ibu kecewa.”
Jika anak tetap sajangambek, berarti masih ada kebutuhan yang tak terpenuhi. Bisa saja orangtua belum sadar ihwal hak-hak anak. Hak untuk bermain, berpartisipasi, dan didengarkan oleh lingkungannya. “Tidak jadi robot terus!” tukas Seto. Jika ia tak mendapat hak-hak tadi, “Anak akan mengalami hambatan dalam tumbuh kembangnya,” tandas peraih penghargaan The Golden Baloon Award, New York ini.
Selain itu, Seto juga menyarankan supaya para orangtua mampu mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang rawan konflik. Misalnya, kalau kemungkinan ia akan ngadat ketika diajak ke mal, persiapkan sebelumnya. “Mama mau ajak kau ke mal, tapi janji, hanya boleh minta satu barang saja. Kamu nanti mau minta apa? Stiker atau boneka? Pilih salah satu, tidak boleh lebih dari itu.” Nah, karena si kecil dilibatkan dalam perencanaannya, ia pun biasanya akan menepati kesepakatan karena merasa dirinya dihargai. Bisa juga ditambahkan dalam “perjanjian” itu, apa sanksinya jikalau si kecil ingkar janji. Misalnya, pada kepergian berikut, ia tak boleh ikut lagi.
HUKUMAN DAN PUJIAN
Dengan menegakkan demokrasi di rumah, anak akan terhindar dari rasa frustrasi. Sebab itulah, semenjak anak mampu diajak bicara, sebaiknya biasakan diajak bicara. Anak pun akan merasa dihargai. “Kalau ia biasa dihargai, dipercaya, dan egonya diakui, maka ia akan lebih percaya diri dan tidak mudah ngambek,” kata Seto. Perlukah hukuman diberlakukan dalam hal ini? “Bisa saja, tapi bukan dalam bentuk pukulan atau cubitan. Melainkan dalam bentuk tak dipenuhinya keinginan itu. Biasanya ibu senyum, kok, kali ini tidak dan mukanya datar. Itu saja bagi anak yang peka sudah berarti hukuman,” terang Seto. Namun, jangan lupa pula memberinya kebanggaan jikalau ia berkelakuan baik dan dapat menghilangkan sifat ngambeknya.
Sumber : tabloid-nakita.com