Sebelumnya saya pernah bilang bahwa si Widya mengalami sembelit (Sembelit pada Bayi,Versi si Gembul Widya), nah artikel kali ini memnag kelanjutan dari postingan kala itu. Postingan itu tertanggal 5 Maret, dan ternyata sembelitnya ia berlangsung hampir selama sebulan.
Ternyata hasil konsultasi ke dokter tidak menawarkan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi sembelitnya. Setelah makannya dikurangi, kondisi fesesnya juga tidak melembek, tetap keras sehingga memerlukan tenaga ekstra untuk keluar. Beberapa kali malah tidak mau keluar, keluar sedikit tetapi sebab ngedennya dihentikan, fesesnya masuk lagi.
Berbagai macam makanan bayi dan trik untuk mengatasi sembelit pada bayi menyerupai yang tertuang dalam postingan mengenai Mengatasi Susah BAB (Sembelit) pada Bayi Mpasi saya jalankan, mulai dari memperbanyak serat, sayuran, cairan, fitnes, dan taraa... kegagalan yang dialami banyak mommy yang bertanya di komentar postingan tersebut saya alami juga. Stress? sudah pasti dong. Sampai-sampai, saat kerja dan nelpon ke rumah untuk ngecek anak-anak, pertanyaan saya selalu sama setiap harinya,
"Si kakak mau makan, Bi? si Adik mau ngengek, Bi?"
Kakak adik berbanding kebalik benar ini. fiuhh...
Selama dua ahad pertama sembelitnya, bapaknya menyuntikan dua kali pencahar lewat dubur. Setelah itu, ternyata BAB nya masih keras, hingga jikalau BAB harus hingga dicungkil-cungkil supaya sedikit fesesnya sudah keluar, tidak masuk lagi.
Mengenai nangis, ya sudah pastilah. Wajahnya hingga memerah, duburnya berdarah sebab lecet dan yang paling menyedihkan, saya hingga harus membatasi asupan makanan supaya mendeteksi makanan apa kiranya yang membuat ia sembelit.
Susu formulanya saya ganti dengan merk lain sebab beberapa sobat mengatakan bisa jadi sebab tidak cocok. Dua kali ganti tidak juga ada hasilnya. Pepaya yang kata banyak blog ternyata bisa juga mengakibatkan sembelit, terpaksa saya hentikan. Beraneka buah pir sudah saya coba, ternyata tidak bisa mengencerkan BABnya. Apel tidak sama sekali sebab malah bisa bikin sembelit dan terakhir saya juga hindarkan beras dari menunya sebab lagi-lagi takut membuat BABnya tambah keras.
Pada Kamis 27 maret, ia full ASI sebab stok perahnya lumayan dan keesokan harinya saya libur otomatis dua hari itu susu formulanya terhenti. Sabtu dan Minggu besoknya, menunya saya ganti dengan meniadakan beras sama sekali. Menunya saya kasih gandum dengan buah, seharian itu ia makan makanan cair campuran gandum dan buah pir korea + semangka. Hari sabtu siang, BABnya lancar sebab adegan yang keras sudah berhasil dikeluarkan kemarinnya. Saya sudah senang itu, sebab menduga dengan meniadakan beras, babnya lancar.
Sabtu sore, sebab sesuatu hal, si Widya kena formula lagi dan keesokan harinya, fesesnya kembali keras. Nah, berbekal pengalaman itu, kesudahannya saya dan suami berkeputusan untuk mengganti formula yang biasa (susu sapi) dengan soya.
Hasilnya?
Setelah feses kerasnya berhasil keluar dengan sedikit dukungan cungkil-cungkilan, selasa, Fesesnya jadi lebih lembut dan rabu pagi fesesnya sudah lembek sempurna.
Lalu seterusnya bagaimana?
Fesesnya memang sudah normal, bahkan sehari bisa BAB hingga tiga kali dan baunya, amboy... jauh lebih beraroma feses dibanding sebelumnya. Masalahnya pada hari jumatnya, ada ruam-ruam merah di seluruh tubuhnya yang artinya ia kena alergi makanan. Perkiraan awal saya sebab gandumnya, walaupun sempat mikir soyanya juga memberi dampak alergi. Namun saya sudah sering memberinya tempe tahu dan selama ini aman-aman saja.
Setelah ke dokter, kesudahannya ruam merahnya berkurang dan dokter berpesan supaya menghentikan gandum setidaknya untuk 6 bulan ke depan. Lihat dulu perkembangannya selama dua minggu, dan setelah bersih dari alergi, bisa lagi mencoba gandum untuk memastikan apakah ia alergi dengan materi makanan itu atau tidak.
Nah, jadi mommy, inti dari postingan kali ini yakni mengetahui penyebab sembelit itu terlebih dahulu. Sekitar dua ahad sembelit, saya rasanya tidak percaya ini sebab kurang serat atau cairan sebab asupan keduanya sudah cukup. Cairannya seakan terserap semuanya oleh usus halus sehingga tidak menyisakannya sama sekali ke usus besar. Pernah juga saya berpikir sebab kelainan usus. Tetapi untungnya dengan trial eror bersama suami ini tertangkap berair jikalau si Widya alergi susu sapi.
Setelah kejadian menyerupai ini saya kembali berpikir bahwa dokter tidak selalu bisa membantu kita dalam kasus menyerupai ini sebab perlu observasi panjang. Kalau misalnya kita tidak peka, tentu si anak yang jadi korban.
Akhirnya saya hanya bisa bersyukur dan berdoa, semoga si Widya tidak mengalami alergi soya. Susu sapi alergi, jikalau soya juga alergi, ia tambahannya apa dong?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar