Senin, 02 Oktober 2017

Yuk .. Kita Didik Anak Tanpa Kekerasan

Assalamualaikum wr wb, salam cerdas kreatif.

MASIH banyak anggapan bahwa anak ialah komunitas kelas bawah, yang merupakan pribadi-pribadi kecil dan lemah yang seolah sepenuhnya harus berada dibawah kendali kekuasaan orang dewasa, sehingga berakibat orangtua pun merasa berhak melaksanakan apa saja terhadap anak.

Paradigma yang keliru tersebut kini terus berkembang, sehingga baik di rumah maupun di sekolah banyak diajarkan bahwa belum dewasa harus menurut sepenuhnya kepada orang tua, guru, atau orang remaja yang lain. Sikap anak tidak boleh membantah, mengkritik, apalagi melawan tanpa adanya penjelasan secara terperinci dalam situasi bagaimana hal itu seharusnya dilakukan.

Alfie Kohn (2006) menemukan banyak kasus terjadinya tindak kekerasan, penindasan, dan perlakuan diskriminatif terhadap anak. Anehnya, sikap perlakuan tersebut dianggap sebagai suatu hal yang wajar bahwa seakan-akan mendidik anak memang harus dilakukan dengan kekerasan. Padahal mengasuh anak merupakan peran yang teramat mulia, sebab anak ialah anugerah ilahi dan amanah yang patut kita jaga.

Cara pandang yang keliru tersebut harus diubah sesuai paradigma gres dengan pola pengasuhan anak yang benar. Apabila orangtua menginginkan munculnya pribadi-pribadi unggul di masa depan, diharuskan kepada orang renta dan pendidik untuk menghentikan banyak sekali kekerasan terhadap anak atas nama pendidikan. Sebab pendidikan tidak identik dengan kekerasan dan tidak sekedar menunjukkan arahan atau komando, melainkan harus menunjukkan hati dan jiwa kedewasaan yang sarat dengan cinta dan kasih sayang.

Sebagai seorang psikolog terkemuka Amerika Serikat, Alfie Kohn memaparkan bagaimana cara mencintai anak. Karena apa yang mereka lakukan (cinta bersyarat) atau mencintai anak sebab siapa mereka (cinta tidak bersyarat). Cinta bersyarat artinya, belum dewasa harus mendapatkannya dengan bertindak dalam cara-cara yang kita anggap sempurna atau melaksanakan sesuatu dengan standar kita. Cinta tidak bersyarat, dalam hal ini cinta tidak bergantung pada bagaimana mereka bertindak, apakah mereka berhasil atau bersikap baik atau yang lainnya.

Mencintai anak tanpa syarat akan menghasilkan pengaruh positif dan bukan hanya sesuatu yang benar untuk dilakukan secara moral, tetapi juga merupakan sesuatu yang cerdas dan mendidik. Anak-anak perlu dicintai sebagaimana mereka apa adanya dan sebab siapa mereka. Karena apabila hal itu terjadi, maka mereka dapat mendapatkan diri sendiri secara mendasar sebagai orang baik, bahkan saat mereka membuat kesalahan atau gagal. Karena cinta tanpa syarat ini ialah apa yang diharapkan belum dewasa untuk berkembang.

Apabila orangtua menggunakan hukuman, penghargaan dan seni administrasi lainnya untuk memanipulasi perilaku anak, mereka mungkin merasa disayang hanya jikalau mereka menuruti permintaannya. Pengasuhan bersyarat dapat menjadi konsekuensi dari pengontrolan, sebaliknya pengontrolan dapat membantu menjelaskan pengaruh merusak dari pengasuhan bersyarat, namun pengontrolan yang berlebihan secara umum terbukti terang menjadikan dampak negatif terhadap kesehatan mental anak dan keberhasilan mereka di sekolah.

Dalam pola pengasuhan anak yang "otoriter", orang renta yang ibarat itu lebih sering menuntut daripada mendapatkan dan memotivasi. Orangtua jarang memberi penjelasan atas aturan yang diterapkan. Orangtua seringkali mengharapkan kepatuhan mutlak dan menggunakan hukuman sesukanya, daripada memberi kebebasan kepada anak untuk berpikir sendiri.

Saatnya kita mengajak kepada semua orangtua biar mengubur dalam-dalam tujuan ambisius dan menuruti keinginannya dengan memakai cara pemaksaan dan kekerasan. Sebagai solusinya yaitu orangtua harus membangun korelasi yang hangat dan berpengaruh dengan anak, serta memperlakukannya dengan hormat, meminimalkan pengontrolan dengan paksa, dan bila perlu memberi penjelasan yang mendidik.

Mengasuh anak dengan paksa maupun memberi hukuman tidak akan membuahkan hasil positif, sebab ada beberapa dugaan dan alasan yang rasional berikut. Pertama, konsekuensi hukuman seringkali membuat marah siapapun yang mendapatkan hukuman. Kedua, hukuman merupakan pola penggunaan kekuasaan, misal hukuman fisik yang diberikan kepada belum dewasa ialah kekejaman yaitu penggunaan kekuatan untuk menyelesaikan masalah.

Ketiga, hukuman pada hasilnya tidak efektif. Seperti yang ditunjukkan Thomas Gardon, "Akibat yang tidak dapat dihindari dari penggunaan kekuasaan yang terus menerus untuk mengontrol belum dewasa saat mereka masih kecil ialah bahwa Anda tidak pernah mencar ilmu bagaimana cara mempengaruhi, semakin anda bergantung pada hukuman, maka semakin sedikit pengaruh konkret yang akan Anda miliki dalam kehidupan mereka".

Keempat, hukuman mengikis korelasi orangtua dengan anak-anak. Karena dengan menghukum, penghukum dianggap sebagai musuh, dan membuat belum dewasa kesulitan untuk menganggap orangtua sebagai kawan yang penuh perhatian, yang sangat penting bagi perkembangan anak yang sehat. Kelima, hukuman mengalihkan perhatian belum dewasa dari problem yang bersama-sama dan membuat belum dewasa menjadi lebih egois.

Dari kelima model hukuman tersebut di atas, penting menjadi pelajaran bagi semua orangtua, guru dan siapa saja yang terlibat dalam mengasuh dan membimbing anak. Dengan begitu, diharapkan kekerasan pada anak tidak terjadi lagi, sebab salah proses pengasuhan.

Semoga bermanfaat. wassalam.

Terima kasih bila sobat-sobat sudi mengembangkan disini ... :)

0 komentar:

Posting Komentar