indosiar.com - Ketika anak balita Anda jatuh dan bab tubuhnya membentur meja, apa yang harus dilakukan ? Memarahi anak alasannya tidak hati-hati ? Mengatakan meja yang pembangkang kepada anak dan membelanya dengan memukul meja ? Salah-salah meja akan terus menjadi objek dendam anak.
Sebagai orang tua, bila kita salah bertindak dikala menghadapi hal itu, bisa berakibat fatal menjadikan anak lemah mengatasi masalah, atau dalam bahasa psikologi disebut dengan proven solving.
Mengapa ? Karakter anak yang berdikari (mampu membimbing dirinya sendiri) terbentuk semenjak balita. Masa balita yaitu masa anak menangkap dan mengingat perlakuan yang dilihat dan diterimanya. Saat itu, kecerdasan dan kreatif anak berkembang. Jika kita tidak memahami dan memperhatikan, salah-salah sifat anak akan jauh dari kemampuan kecerdasan dan kreatifitas.
Dalam seminar Peran Orang renta Dalam Menstimulasi Anak Cerdas Berkualitas di Rumah Sakit Harapan Kita, psikolog anak Rumah Sakit Harapan Kita Dra Anie Lurfia Perbowo mendeskripsikan kriteria anak cerdas dan kreatif ke dalam beberapa aspek. Yakni :
- Kemampuan umum
- Kreativitas
- Motivasi diri
Peran ketiganya sama penting. Meski seseorang berpotensi intelektual dan berkreativitas tinggi, namun bila dalam menghadapi peran kurang menawarkan motivasi maka yang bersangkutan tak akan berhasil. Sebaliknya, bila berkemampuan dan kreativitasnya dalam taraf sedang namun memiliki motivasi diatas rata-rata, maka dikatakan berpotensi.
Cerdas Versi IQ
Umumnya orang beranggapan hasil tes IQ berkaitan dengan kecerdasan. Anak ber-IQ 130 dianggap berkemampuan luar biasa dalam segala bidang. Jika anak hebat olahraga namun ber-IQ taraf rata-rata, atau anak yang nilai matematikanya jeblok dan IQ-nya taraf rata-rata, maka dianggap anak bodoh. Pemahaman ibarat itu tak tepat, IQ hanya mengukur kemampuan linguistik dan nalar matematika sedangkan KECERDASAN mengacu pada kemampuan problem solving.
Hasil tes IQ anak perlu dikritisi. Orang renta perlu menanyakan bisakah dan bagaimana cara mengoptimalkannya. Orangtua jangan cepat puas punya anak yang ber-IQ TINGGI lalu lupa untuk terus mendampingi dan menstimulasi anak. Sebaliknya jangan pula bersedih hanya gara-gara anak dinyatakan nilai IQ taraf DIBAWAH RATA-RATA, menganggap anak tak cerdas padahal mungkin saja belum diasah secara maksimal.
Kenyataannya IQ TINGGI tak menjamin yang bersangkutan berhasil dalam kehidupannya kelak, perannya hanya sebesar 20%. Banyak pola yang mengambarkan hal tersebut antara lain orang yang berIQ TINGGI, namun belum tentu bisa berempati atau melaksanakan tindak pidana.
Lantas bagaimana menilai anak memiliki kreatifitas atau tidak, bila kemudian angka yang didapat kurang dari 70 dikala test IQ.
Untuk mengetahui apakah anak kita kemudian bisa menjadi kreatif, Spesialis Anak RS Harapan Kita DR.SC. Utami Munandar lebih memilih anak melaksanakan uji analisa CQ (Creativity Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient). Secara harfiah, untuk menggambarkan arti kreativitas sesungguhnya. "Arti kreativitas yakni sebagai kemampuan yang mencerminkan kelancaran keluwesan, orisinalitas berfikir dan kemampuan elaborasi (mengembangkan, memerkaya, merinci) suatu gagasan atau CQ (Creativity Quotient).
Banyak kita dapati perlakuan dan tindakan anak dengan banyak sekali polah dan tingkah laku. Sehingga lisan kreativitas anak kerap mengakibatkan efek kurang berkenan bagi orangtua. Orangtua melarang anak merobek-robek kertas alasannya takut rumah jadi kotor, atau berteriak dikala anak main pasir alasannya takut anak terkena kuman. Padahal tiap anak memiliki lisan kreativitas yang berbeda, ada yang terlihat suka mencoret-coret, beraktivitas gerak, berceloteh, melaksanakan eksperimen, dan seterusnya. Berarti penyikapan orangtua ibarat itu menghambat kreativitas anak.
Unsur emosi EQ (Emotional Quotient) dalam kecerdasan yaitu bab berikutnya yang perlu diperhatikan. Kecerdasaan emosi merupakan kemampuan mengidentifikasikan emosi, mengekspresikan perasan, mengendalikan dan menunda ledakan emosi, memahami perasaan orang lain (empati), bisa mengikuti keadaan secara sosial.
SQ (Spiritual Quotient) bukan RQ (Religious Quotient)
RQ yaitu ketrampilan dalam melaksanakan semua aturan agama yang dianutnya. SQ yaitu kemampuan untuk berbuat sesuatu dengan kata hatinya yang manifenstasinya terlihat dikala berinteraksi dengan sesama; misal bersikap ramah pada siapapun tanpa memandang suku atau agama misalnya.
Jika anak balita memiliki SQ paling tinggi, ia jujur mengungkapkan sesuatu beradsarkan apa yang ada di lubuk hatinya. Bila tak suka, anak balita akan bilang tak suka, tak memanipulasi jawabannya. Sejalan bertambahnya usia, SQ akan menurun, akhirnya orangtua harus terus mengajarkan anak untuk menyebarkan SQ-nya, misal mengajarkan anak bahwa kakak menolong adik bukan alasannya dilandasi kewajibannya sebagai kakak semata, namun dilandasi nilai kasih saying pada adik.
Kemampuan IQ tinggi dengan dibarengi EQ belum cukup bila tidak dibarengi oleh SQ. Misalnya pada kasus mengerjar uang dan jabatan dengan cara mengabaikan apakah intelektual dan emosi yang digunakan telah menyingggung atau merugikan orang lain.
Jika semua unsur tadi sudah terpenuhi apakah kemudian anak sudah bisa dibilang tepat ?
Pakar Sosilog anak DR Howard Gardner dalam riset yang dilakukannya mendapati adanya kecerdasan anak yang majemuk. Dalam kesimpulannya, tidak ada anak terbelakang dan pintar. "Yang ada anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan" ujarnya.
Sikap dan pengetahuan orangtuanyalah yang menentukan apakah potensi kecerdasan anak akan berkembang atau justru padam.(Her/Ijs)
sumber : http://www.indosiar.com/ragam/73517/mengukur-kemampuan-kreatifitas-anak
0 komentar:
Posting Komentar